Hatur
tengkyu buat penemu wi-fi dan kafe dengan wi-fi gratis. Hatur tengkyu buat
google, Wikipedia, dan terutama facebook. Hatur tengkyu buat mas-mas waiter
kafe yang nggak ngusir gue meskipun gue nongkrong udah hampir 3 jam dan Cuma
mesen cappuccino, small size pula =D
Nisa tersenyum-senyum sendiri sebelum
meng-klik tombol ‘update’ di akun facebooknya. Anak itu memang sedang sibuk
mengerjakan tugas dari dosen killer yang minta dikumpul esok hari. Dia sungguh
merasa terbantu dengan hadirnya wi-fi di kafe dekat kosannya. Lebih-lebih buat
Wikipedia yang membuat segalanya menjadi lebih mudah dalam sekali klik. Segahar
apapun dosennya, kalau semua ada di Wikipedia, ngapain pusing? Nisa sungguh
salut dengan kemalasan anak-anak sekarang, kecemerlangan para pendiri
Wikipedia, dan tentu saja betapa hebatnya mahasiswa jaman dahulu yang mampu
mengerjakan paper tanpa bantuan Google. Fabulous, fabulous. Betul betul betul.
5 likes. Nisa tersenyum. Bukannya
banci likes, tapi anak itu merasa bersyukur bahwa masih ada orang yang mau
memperhatikan statusnya itu. Soalnya menurut pengamatan Nisa yang rencananya
akan membuat skripsi dengan judul “Jumlah Likes pada Status Facebook : Pengaruh
Galau dan Penderitaan Alay”, status-status yang isinya ratapan durjana dan
kegalauan cinta-cintaan akan meraup jauh lebih banyak jempol yang meng-klik
like daripada status yang menunjukkan kebahagiaan. Contohnya : “DuCh, kCiaa44nn
4yyquwh, Gyy attiiitt…Cpet cembuh ya ayy :’( :*” bisa meraup 46 likes sedangkan
status-status normal biasanya nggak bakal bisa memecahkan rekor tersebut.
Nisa membereskan diktatnya yang
bertebaran di meja, lalu menjejalkan dengan asal saja ke dalam tasnya. Lalu
mematikan laptop.
Nisa tersenyum kecil pada mas-mas
waiter yang tadi disebut dalam statusnya.
“Besok pesennya cappuccino large size
ya mbak. Biar kita nggak terlalu rugi,” seloroh mas-mas waiter itu. Maklum,
Nisa ini hobi banget menyambangi kafe itu tetapi tidak memberikan pendapatan
yang berarti buat kelangsungan hidup kafe itu.
“Ya kalo ada duitnya mas,” cengir
Nisa.
Nisa berjalan santai menuju kosannya.
Dia memang lebih suka jalan kaki saja kalau jaraknya tidak terlalu jauh.
Meskipun hal itu beresiko membuat betisnya segede talas, tapi tak apa lah. Nisa
suka memperhatikan kehidupan sepanjang perjalanan. Hal yang tidak mungkin bisa
dia perhatikan kalau berada diatas sepeda motor. Lagian kan itu berarti hemat
bbm. Sehat pula. Apalagi sekarang sudah sore, matahari sudah terlalu lelah untuk
menyinari bumi. Sungguh suasana yang pas untuk suka-suka berkeliling kota.
“Adaw, mas, lihat-lihat dong!”
tiba-tiba, dari depan Nisa ditabrak seorang laki-laki berkemeja rapi. Memang
sih dia nggak memperhtikan jalan, karena daritadi dia hanya memerhatikan smartphone
yang tergenggam di tangannya. Tipikal orang jaman sekarang sih, yang dunianya
terpusat pada apa yang tergenggam , dalam hal ini smartphone, daripada apa yang
ada di sekelilingnya.
“Aduh, maaf mbak, saya buru-buru.”
Lalu orang itu melanjutkan perjalanannya dalam langkah-langkah yang panjang.
“Kayak orang penting aja,” gerutu
Nisa. Jelas saja orang tadi tidak tulus dengan ucapan maafnya. Dan jujur, Nisa
paling tidak suka dengan orang yang sudah jelas-jelas salah tapi permintaan
maafnya hanya sekedar empat huruf tanpa makna.
Nisa merebahkan diri di kamar kosnya
yang berantakan. Anak cewek tapi kamar dengan gudang nggak bisa dibedakan,
begitu kata ortunya dulu. Tapi ya mau gimana lagi, meskipun sudah berusaha
rapi, tetapi dasar nasib, kerapian kamarnya bertahan paling lama setelah
dibereskan. Soalnya anak itu cuek saja melempar tas, bangun tidur tanpa melipat
selimut, dan tidak mengembalikan barang-barang yang habis dipakai ke tempatnya
semula.
Nisa lelah sekali. Seharian bertatap
muka dengan dosen-dosen killer membuatnya lelah. Iyalah, soalnya sport jantung
aja gitu kalo tatapan gahar mereka mendarat ke mukanya. Belum lagi
tugas-tugasnya. Ya seperti paper yang tadi ia buat.
Potongan-potongan memori berkelebat di
kepalanya.
Sesuatu tentang pohon asem di lapangan
parkir.
Sesuatu tentang cabe yang nyelip di
giginya.
Sesuatu tentang apa makanan besok.
Sesuatu tentang mas-mas yang tadi
menabraknya.
Sesuatu dengan suara mas-mas itu.
Sesuatu dengan janji-janji masa
lalunya.
Tunggu, janji??
Wajah mas-mas tadi terbayang semakin
jelas.
“Nanti
kalau Nisa udah gede, mas janji bikinin lukisan,”
“Kenapa
nggak sekarang aja?” Nisa memperhatikan lukisan potret seorang wanita.
“Mas lagi
sibuk kalo sekarang. Mas janji mau bikinin yang lebih gede dan lebih bagus,”
“Sekarang
aja yaaaa? Bikin yang cantik, kayak begini.” Nisa menunjuk lukisan potret itu.
Dia
menggeleng.
“Sekarang?”
Masih
menggeleng.
“Sekarang?
Sekarang?”
Tidak ada
respon.
“Sekarang?
Sekarang? Sekarang? Sekarang?” Nisa tetap gigih.
“Okeee,
tapi sketsanya dulu ya.”
“Asyik!”
Dia
mengambil kertas dan pensil, lalu sibuk menggambar.
“Selesai
nih. Nanti kalo Nisa udah besar, mas bikin lukisannya.”
“Wah,
cantik.”
“Nanti
lebih cantik lagi.”
Pipi Nisa
bersemu merah.
Sebuah nama. Nisa berpikir keras.
Sore itu mas Didit membawa seorang
temannya kerumah untuk belajar bersama. Nisa yang kala itu masih SMP, menerobos
masuk ke dalam kamar kakaknya itu dan langsung menyodorkan buku paket
matematika, nggak menyadari bahwa ada orang lain di dalam kamar itu.
“Tolong. Dong. Halaman 43. No 5, 6, 9.
Plis.”
“Bentar ya Yud, gue bikinin pr adek
gue dulu. Kalo nggak nanti dia ngamuk,”
“Silahkan aja. Namanya siapa Dit?”
“Nisa,” dengan tangan terjulur, Nisa
menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya.
“Halo, kenalkan saya Yudha. Yudha
Setiawan,”
Dan Mas Yudha memberikan senyum
termanisnya, yang tak akan pernah dilupakan Nisa.
Sejak itu, Nisa dan Mas Yudha menjadi
semakin akrab. Mas Yudha sering main ke rumah Nisa, dan sesekali Nisa pun
berkunjung ke rumahnya. Mas yudha punya keluarga besar dengan 4 adik.
Adik-adiknya lucu-lucu, terutama si Gendut yang imut. Nisa pun jadi sering
merengek ke Mas Didit untuk mengantarnya kesana.
Tapi lebih daripada itu, mengobrol
dengan Mas Yudha lah yang paling menyenangkan buat Nisa. Mas Yudha orangnya
cerewet dan humoris. Mas Yudha sering mengirimkan kartu-kartu ucapan yang
ditujukan pada Nisa. Ada kartu lebaran, kartu ucapan selamat ulang tahun,
bahkan kartu Valentine. Nisa menikmati masa-masa itu. Cinta pertama? Enggak
lah, waktu itu Nisa masih terlalu kecil untuk mengerti.
Dia juga sangat pandai melukis. Entah sudah
berapa kali Nisa dibuat terpaku dengan lukisan potretnya yang indah.
Tapi janji Mas Yudha belum
diwujudkannya.
Nisa melompat dari tempat tidur dan
membongkar-bongkar tumpukan buku yang ia simpan dalam dus besar. Akhirnya ia
menemukan apa yang ia cari, sebuah diary lama. Di sampul bagian dalamnya, Nisa
menempelkan secarik kertas yang berisi sketsa wajahnya yang digambar Mas Yudha
dulu, yang versi lukisannya belum ada.
Nisa jadi kangen. Kangen sekali.
“Nisa kalo
udah gede jangan sombong ya. Tetep tegur-tegur mas. Soalnya mas ini nggak bisa
hidup sehari tanpa kamu.”
“Gombal!”
Tapi apa benar laki-laki tadi adalah
Mas Yudha?
Nisa membongkar-bongkar ingatannya
lagi. Sepertinya memang ia adalah Mas Yudha. Tapi kan mereka sudah lama tidak
bertemu? Bertukar kabar pun jarang, terakhir kali Mas Yudha menelepon adalah
empat tahun lalu, ketika Nisa hendak masuk kuliah. Dan sekarang mereka sudah
tak pernah berkomunikasi lagi. Apa Mas Yudha masih ingat padanya? Tapi Nisa
ingin menghubunginya, sekadar berbagi masa lalu.
Hmmm, tetapi kenapa dia jadi
memikirkan hal ini begitu rupa? Sahabat-sahabat masa sekolahnya dulu pun tak
ada yang membuatnya kangen sampai uring-uringan begini. Gimana caranya Nisa
bisa sekedar tau kabarnya ya?
Facebook!
Nisa menjentikkan jari. Cepat-cepat
dia menyalakan laptop dan memasang modem. Lalu dibukanya situs facebook, dan
pada kolom search, dia mengetik nama Yudha Setiawan.
Ada puluhan orang yang nama akunnya
Yudha Setiawan. Nisa lebih memilih untuk mengamati foto profil masing-masing
akun tersebut. Hmmm..yang satu rambutnya bermodel poni lempar, yang lain
mukanya penuh tindikan. Yang satunya lagi memasang gambar motor. Ah, ini dia!
Akun Yudha Setiawan yang satu ini mempunyai foto profil yang mirip sekali
dengan lelaki yang menabraknya tadi.
Add as
friend.
Sudah!
Nisa log out dari facebook, mencabut modem dan mematikan laptop. Langsung
tertidur begitu saja.
Tiga hari Nisa memantau facebooknya
dengan was-was. Belum ada notifikasi bahwa Yudha Setiawan mengkonfirmasinya.
Nisa maklum sih, facebook kan sekarang turun pamor. Mungkin Mas Yudha lebih
sering twitteran ketimbang facebook-an. Atau malah udah nggak online sama
sekali.
Hari keempat, Nisa tersenyum senang.
Tangan terkepal meninju udara. Mas Yudha sudah mengkonfirmasinya. Sekarang
saatnya stalking.
Oke, jadi Mas Yudha sekarang sudah
bekerja di perusahaan IT. Keren juga, dia adalah editor grafisnya. Dan sekarang
dia…lajang. Serius lajang? Masa orang secakep Mas Yudha jomblo? Nggak percaya
deh. Hmmm…update status terakhirnya sekitar seminggu lalu. Dan dia tinggal di
kota ini.
Aku perlu
ngirim wall nggak ya?
Kayaknya
nggak perlu, SKSD banget. Belom tentu juga Mas Yudha ingat aku.
Tapi masa
Mas Yudha nggak ingat aku.
Yaudah
kalo begitu kenalan aja dulu kayak anak ababil.
nggak mau.
Pake huruf capital biar lebih tegas, NGGAK MAU.
Tapi ini
kan sarana satu-satunya untuk menghubungi Mas Yudha….
Tapi nggak
etis kalo lewat fb.
Terjadi perang batin yang sangat
sengit.
Nisa memutuskan bahwa dia nggak bakal
say hello di fb. Mending langsung telpon. Tapi…Nisa kan nggak punya nomor
hpnya, yang dia punya Cuma telepon rumah.
Gimana dong?
Ya Tanya Mas Didit lah! Piye sih Nisa ini,
punya kakak kok nggak dimanfaatin? :D
Nisa langsung menyambar hpnya.
“Hallloooo, Mas, Mas Didit! Ini aku,
adekmu. Enggak, duitku masih ada kok, nggak bakal ngutang deh. Gini loh, Mas
punya nomornya Mas Yudha nggak? Ada urusan nih, penting sekali. Penting penting
penting sekali. What? Enggaklah! Enggaaaaakkk. Punya nggak? Cepetan kasih tau.
Eh tunggu bentar, aku ambil kertas sama pensil dulu. Okeee, okeeee. Kosoong,
delapaan, satuuu…hah? Berapa? Putus-putus nih! Haloooo, mas Didit? Kosong
delapan satuu tigaaa…” Nisa dengan heboh menjepit hp diantara kepala dan
bahunya, sedang tangan kanannya menulis nomor dan tangan kirinya memegang
kertas.
“Oke makasih kakakku sayoooongsss…
assalamualaikum!”
Sip!
Sekarang nomornya sudah di tangan. Telpon sekarang? Atau sms saja? Enggak,
jangan sms, telpon saja. Tapi nanti.
Sudah seminggu sejak facebook Nisa di
konfirmasi oleh Mas Yudha. Tapi Nisa masih belum juga menelponnya meski nomor
hp Mas Yudha sudah tersimpan rapi di kontaknya. Dia masih belum berani. Dia
sudah mencurhatkan semua unek-uneknya pada Fira, sahabatnya di kampus.
“Ya tinggal telpon aja kenapa sih?”
“Takut, Fir. Gue takut kalo ternyata
gue nggak lebih dari adek temennya doang.”
“Jadi lo pengen dianggap lebih nih?”
dan Fira tersenyum aneh.
“Apasih lo?”
“Apa jangan-jangan dia itu sebenernya
cinta pertama lo?”
“Apa? Cinta pertama? Enggaklah, gue
masih piyik waktu kenal sama dia.”
“Siapa tau aja kali. Buktinya Cuma
buat ngumpulin niat untuk nelpon doang kamu butuh seminggu.”
“Hmm..tapiii…”
“Nggak ada tapi-tapian. Untuk
memastikan perasaan elo, dan perasaan dia juga mungkin, lo harus telpon. Kalo
elo masih takut-takut dan malu-malu meong kayak gini, kayaknya lo emang terkena
sindrom anak-labil-jatuh-cinta. Begitu teorinya.” Dlam sekejap, Fira berubah
jadi psikolog.
“Okedeh,
gue bakalan buktiin ke elo Fir, kalo gue nggak ada perasaan apa-apa. Cuma
kangen sama sahabat lama. Gimanapun juga, dia masih ngutang satu janji sama
gue. Dan gue bakal bikin dia nepatin janjinya itu.”
Tapi seminggu setelah perbincangan dengan
Fira di kampus, Nisa masih belum juga menelpon Mas Yudha. Dan dua minggu sudah
kenangan-kenangan akan Mas Yudha berkelebat di kepala Nisa. All the time.
Gue emang cemen.
Berarti bener dong kata Fira, mungkin
aja dia emang cinta pertama gue.
Oh bukan, bukan, bukan. Mas Yudha Cuma
sahabat Mas Didit yang kebetulan akrab sama gue.
Nggak lebih.
“Jadi gimana Nis?” Fira duduk
disamping Nisa.
“Apanya yang gimana?”
“Your old friend.”
“Ah, itu…emmm… belom.”
“Belom apanya?”
“Belom nelponnya.”
“Hah, beloommm???”
“Besok
deh.”
Akhirnya Nisa memberanikan diri
menelpon Mas Yudha. Dia menimang-nimang hp kecilnya.
“Halo mas! Pakabar? Masih jomblo
nggak??” terlalu frontal
“Halo mas! Piye kabare?” terlalu sok
akrab.
“Halo mas! Ini aku, Nisa. Mana
lukisannya?” kayak nagih apaan aja.
Nada tunggu masih berbunyi. Nisa
menunggu dengan tak sabar.
“Halo?”
Ups. Ingin rasanya Nisa memencet
tombol merah dan menyudahi telepon ini.
“Halo.” Balasnya kaku.
“Ini siapa?”
“Ini Nisa, Mas.”
“Nisa..yang mana yaaa?”
“Mas lupa?”
“Sebentar. Nisa yang manaaa? Nisa Tri
Hapsari? Nisa Pohan? Atau Nisa Bahar?”
Nisa nggak bersuara.
Hening lama. Lama sekali.
“Oh iya! Chairunnisa kan? Resepsionis?
Tumben telepon. Kenapa Nis?”
Nisa terdiam lama. Lama sekali.
“Halooooo??”
Nisa menekan tombol merah.
we lanjutannya buruan di post :D
BalasHapusiyo mace, tunggu sa bikin dulu, wokehhh? :D
BalasHapus