Minggu, 05 Agustus 2012

Promises


Hatur tengkyu buat penemu wi-fi dan kafe dengan wi-fi gratis. Hatur tengkyu buat google, Wikipedia, dan terutama facebook. Hatur tengkyu buat mas-mas waiter kafe yang nggak ngusir gue meskipun gue nongkrong udah hampir 3 jam dan Cuma mesen cappuccino, small size pula =D

Nisa tersenyum-senyum sendiri sebelum meng-klik tombol ‘update’ di akun facebooknya. Anak itu memang sedang sibuk mengerjakan tugas dari dosen killer yang minta dikumpul esok hari. Dia sungguh merasa terbantu dengan hadirnya wi-fi di kafe dekat kosannya. Lebih-lebih buat Wikipedia yang membuat segalanya menjadi lebih mudah dalam sekali klik. Segahar apapun dosennya, kalau semua ada di Wikipedia, ngapain pusing? Nisa sungguh salut dengan kemalasan anak-anak sekarang, kecemerlangan para pendiri Wikipedia, dan tentu saja betapa hebatnya mahasiswa jaman dahulu yang mampu mengerjakan paper tanpa bantuan Google. Fabulous, fabulous. Betul betul betul.


5 likes. Nisa tersenyum. Bukannya banci likes, tapi anak itu merasa bersyukur bahwa masih ada orang yang mau memperhatikan statusnya itu. Soalnya menurut pengamatan Nisa yang rencananya akan membuat skripsi dengan judul “Jumlah Likes pada Status Facebook : Pengaruh Galau dan Penderitaan Alay”, status-status yang isinya ratapan durjana dan kegalauan cinta-cintaan akan meraup jauh lebih banyak jempol yang meng-klik like daripada status yang menunjukkan kebahagiaan. Contohnya : “DuCh, kCiaa44nn 4yyquwh, Gyy attiiitt…Cpet cembuh ya ayy :’( :*” bisa meraup 46 likes sedangkan status-status normal biasanya nggak bakal bisa memecahkan rekor tersebut.

Nisa membereskan diktatnya yang bertebaran di meja, lalu menjejalkan dengan asal saja ke dalam tasnya. Lalu mematikan laptop.

Nisa tersenyum kecil pada mas-mas waiter yang tadi disebut dalam statusnya.

“Besok pesennya cappuccino large size ya mbak. Biar kita nggak terlalu rugi,” seloroh mas-mas waiter itu. Maklum, Nisa ini hobi banget menyambangi kafe itu tetapi tidak memberikan pendapatan yang berarti buat kelangsungan hidup kafe itu.

“Ya kalo ada duitnya mas,” cengir Nisa.

Nisa berjalan santai menuju kosannya. Dia memang lebih suka jalan kaki saja kalau jaraknya tidak terlalu jauh. Meskipun hal itu beresiko membuat betisnya segede talas, tapi tak apa lah. Nisa suka memperhatikan kehidupan sepanjang perjalanan. Hal yang tidak mungkin bisa dia perhatikan kalau berada diatas sepeda motor. Lagian kan itu berarti hemat bbm. Sehat pula. Apalagi sekarang sudah sore, matahari sudah terlalu lelah untuk menyinari bumi. Sungguh suasana yang pas untuk suka-suka berkeliling kota.

“Adaw, mas, lihat-lihat dong!” tiba-tiba, dari depan Nisa ditabrak seorang laki-laki berkemeja rapi. Memang sih dia nggak memperhtikan jalan, karena daritadi dia hanya memerhatikan smartphone yang tergenggam di tangannya. Tipikal orang jaman sekarang sih, yang dunianya terpusat pada apa yang tergenggam , dalam hal ini smartphone, daripada apa yang ada di sekelilingnya.

“Aduh, maaf mbak, saya buru-buru.” Lalu orang itu melanjutkan perjalanannya dalam langkah-langkah yang panjang.

“Kayak orang penting aja,” gerutu Nisa. Jelas saja orang tadi tidak tulus dengan ucapan maafnya. Dan jujur, Nisa paling tidak suka dengan orang yang sudah jelas-jelas salah tapi permintaan maafnya hanya sekedar empat huruf tanpa makna.

Nisa merebahkan diri di kamar kosnya yang berantakan. Anak cewek tapi kamar dengan gudang nggak bisa dibedakan, begitu kata ortunya dulu. Tapi ya mau gimana lagi, meskipun sudah berusaha rapi, tetapi dasar nasib, kerapian kamarnya bertahan paling lama setelah dibereskan. Soalnya anak itu cuek saja melempar tas, bangun tidur tanpa melipat selimut, dan tidak mengembalikan barang-barang yang habis dipakai ke tempatnya semula.

Nisa lelah sekali. Seharian bertatap muka dengan dosen-dosen killer membuatnya lelah. Iyalah, soalnya sport jantung aja gitu kalo tatapan gahar mereka mendarat ke mukanya. Belum lagi tugas-tugasnya. Ya seperti paper yang tadi ia buat.

Potongan-potongan memori berkelebat di kepalanya.

Sesuatu tentang pohon asem di lapangan parkir.

Sesuatu tentang cabe yang nyelip di giginya.

Sesuatu tentang apa makanan besok. 

Sesuatu tentang mas-mas yang tadi menabraknya.

Sesuatu dengan suara mas-mas itu.

Sesuatu dengan janji-janji masa lalunya.

Tunggu, janji??

Wajah mas-mas tadi terbayang semakin jelas.

“Nanti kalau Nisa udah gede, mas janji bikinin lukisan,”
“Kenapa nggak sekarang aja?” Nisa memperhatikan lukisan potret seorang wanita.
“Mas lagi sibuk kalo sekarang. Mas janji mau bikinin yang lebih gede dan lebih bagus,”
“Sekarang aja yaaaa? Bikin yang cantik, kayak begini.” Nisa menunjuk lukisan potret itu.
Dia menggeleng.
“Sekarang?”
Masih menggeleng.
“Sekarang? Sekarang?”
Tidak ada respon.
“Sekarang? Sekarang? Sekarang? Sekarang?” Nisa tetap gigih.
“Okeee, tapi sketsanya dulu ya.”
“Asyik!”
Dia mengambil kertas dan pensil, lalu sibuk menggambar.
“Selesai nih. Nanti kalo Nisa udah besar, mas bikin lukisannya.”
“Wah, cantik.”
“Nanti lebih cantik lagi.”
Pipi Nisa bersemu merah.
Sebuah nama. Nisa berpikir keras.
Sore itu mas Didit membawa seorang temannya kerumah untuk belajar bersama. Nisa yang kala itu masih SMP, menerobos masuk ke dalam kamar kakaknya itu dan langsung menyodorkan buku paket matematika, nggak menyadari bahwa ada orang lain di dalam kamar itu.
“Tolong. Dong. Halaman 43. No 5, 6, 9. Plis.”
“Bentar ya Yud, gue bikinin pr adek gue dulu. Kalo nggak nanti dia ngamuk,”
“Silahkan aja. Namanya siapa Dit?”
“Nisa,” dengan tangan terjulur, Nisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya.
“Halo, kenalkan saya Yudha. Yudha Setiawan,”
Dan Mas Yudha memberikan senyum termanisnya, yang tak akan pernah dilupakan Nisa.
Sejak itu, Nisa dan Mas Yudha menjadi semakin akrab. Mas Yudha sering main ke rumah Nisa, dan sesekali Nisa pun berkunjung ke rumahnya. Mas yudha punya keluarga besar dengan 4 adik. Adik-adiknya lucu-lucu, terutama si Gendut yang imut. Nisa pun jadi sering merengek ke Mas Didit untuk mengantarnya kesana.
Tapi lebih daripada itu, mengobrol dengan Mas Yudha lah yang paling menyenangkan buat Nisa. Mas Yudha orangnya cerewet dan humoris. Mas Yudha sering mengirimkan kartu-kartu ucapan yang ditujukan pada Nisa. Ada kartu lebaran, kartu ucapan selamat ulang tahun, bahkan kartu Valentine. Nisa menikmati masa-masa itu. Cinta pertama? Enggak lah, waktu itu Nisa masih terlalu kecil untuk mengerti.
 Dia juga sangat pandai melukis. Entah sudah berapa kali Nisa dibuat terpaku dengan lukisan potretnya yang indah.
Tapi janji Mas Yudha belum diwujudkannya.
Nisa melompat dari tempat tidur dan membongkar-bongkar tumpukan buku yang ia simpan dalam dus besar. Akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, sebuah diary lama. Di sampul bagian dalamnya, Nisa menempelkan secarik kertas yang berisi sketsa wajahnya yang digambar Mas Yudha dulu, yang versi lukisannya belum ada.
Nisa jadi kangen. Kangen sekali.
“Nisa kalo udah gede jangan sombong ya. Tetep tegur-tegur mas. Soalnya mas ini nggak bisa hidup sehari tanpa kamu.”
“Gombal!”
Tapi apa benar laki-laki tadi adalah Mas Yudha?
Nisa membongkar-bongkar ingatannya lagi. Sepertinya memang ia adalah Mas Yudha. Tapi kan mereka sudah lama tidak bertemu? Bertukar kabar pun jarang, terakhir kali Mas Yudha menelepon adalah empat tahun lalu, ketika Nisa hendak masuk kuliah. Dan sekarang mereka sudah tak pernah berkomunikasi lagi. Apa Mas Yudha masih ingat padanya? Tapi Nisa ingin menghubunginya, sekadar berbagi masa lalu.
Hmmm, tetapi kenapa dia jadi memikirkan hal ini begitu rupa? Sahabat-sahabat masa sekolahnya dulu pun tak ada yang membuatnya kangen sampai uring-uringan begini. Gimana caranya Nisa bisa sekedar tau kabarnya ya?
Facebook!
Nisa menjentikkan jari. Cepat-cepat dia menyalakan laptop dan memasang modem. Lalu dibukanya situs facebook, dan pada kolom search, dia mengetik nama Yudha Setiawan.
Ada puluhan orang yang nama akunnya Yudha Setiawan. Nisa lebih memilih untuk mengamati foto profil masing-masing akun tersebut. Hmmm..yang satu rambutnya bermodel poni lempar, yang lain mukanya penuh tindikan. Yang satunya lagi memasang gambar motor. Ah, ini dia! Akun Yudha Setiawan yang satu ini mempunyai foto profil yang mirip sekali dengan lelaki yang menabraknya tadi.
Add as friend.
Sudah! Nisa log out dari facebook, mencabut modem dan mematikan laptop. Langsung tertidur begitu saja.
Tiga hari Nisa memantau facebooknya dengan was-was. Belum ada notifikasi bahwa Yudha Setiawan mengkonfirmasinya. Nisa maklum sih, facebook kan sekarang turun pamor. Mungkin Mas Yudha lebih sering twitteran ketimbang facebook-an. Atau malah udah nggak online sama sekali.
Hari keempat, Nisa tersenyum senang. Tangan terkepal meninju udara. Mas Yudha sudah mengkonfirmasinya. Sekarang saatnya stalking.
Oke, jadi Mas Yudha sekarang sudah bekerja di perusahaan IT. Keren juga, dia adalah editor grafisnya. Dan sekarang dia…lajang. Serius lajang? Masa orang secakep Mas Yudha jomblo? Nggak percaya deh. Hmmm…update status terakhirnya sekitar seminggu lalu. Dan dia tinggal di kota ini.
Aku perlu ngirim wall nggak ya?
Kayaknya nggak perlu, SKSD banget. Belom tentu juga Mas Yudha ingat aku.
Tapi masa Mas Yudha nggak ingat aku.
Yaudah kalo begitu kenalan aja dulu kayak anak ababil.
nggak mau. Pake huruf capital biar lebih tegas, NGGAK MAU.
Tapi ini kan sarana satu-satunya untuk menghubungi Mas Yudha….
Tapi nggak etis kalo lewat fb.
Terjadi perang batin yang sangat sengit.
Nisa memutuskan bahwa dia nggak bakal say hello di fb. Mending langsung telpon. Tapi…Nisa kan nggak punya nomor hpnya, yang dia punya Cuma telepon rumah.
Gimana dong?
Ya Tanya Mas Didit lah! Piye sih Nisa ini, punya kakak kok nggak dimanfaatin? :D
Nisa langsung menyambar hpnya.
“Hallloooo, Mas, Mas Didit! Ini aku, adekmu. Enggak, duitku masih ada kok, nggak bakal ngutang deh. Gini loh, Mas punya nomornya Mas Yudha nggak? Ada urusan nih, penting sekali. Penting penting penting sekali. What? Enggaklah! Enggaaaaakkk. Punya nggak? Cepetan kasih tau. Eh tunggu bentar, aku ambil kertas sama pensil dulu. Okeee, okeeee. Kosoong, delapaan, satuuu…hah? Berapa? Putus-putus nih! Haloooo, mas Didit? Kosong delapan satuu tigaaa…” Nisa dengan heboh menjepit hp diantara kepala dan bahunya, sedang tangan kanannya menulis nomor dan tangan kirinya memegang kertas.
“Oke makasih kakakku sayoooongsss… assalamualaikum!”
Sip! Sekarang nomornya sudah di tangan. Telpon sekarang? Atau sms saja? Enggak, jangan sms, telpon saja. Tapi nanti.
Sudah seminggu sejak facebook Nisa di konfirmasi oleh Mas Yudha. Tapi Nisa masih belum juga menelponnya meski nomor hp Mas Yudha sudah tersimpan rapi di kontaknya. Dia masih belum berani. Dia sudah mencurhatkan semua unek-uneknya pada Fira, sahabatnya di kampus.
“Ya tinggal telpon aja kenapa sih?”
“Takut, Fir. Gue takut kalo ternyata gue nggak lebih dari adek temennya doang.”
“Jadi lo pengen dianggap lebih nih?” dan Fira tersenyum aneh.
“Apasih lo?”
“Apa jangan-jangan dia itu sebenernya cinta pertama lo?”
“Apa? Cinta pertama? Enggaklah, gue masih piyik waktu kenal sama dia.”
“Siapa tau aja kali. Buktinya Cuma buat ngumpulin niat untuk nelpon doang kamu butuh seminggu.”
“Hmm..tapiii…”
“Nggak ada tapi-tapian. Untuk memastikan perasaan elo, dan perasaan dia juga mungkin, lo harus telpon. Kalo elo masih takut-takut dan malu-malu meong kayak gini, kayaknya lo emang terkena sindrom anak-labil-jatuh-cinta. Begitu teorinya.” Dlam sekejap, Fira berubah jadi psikolog.
“Okedeh, gue bakalan buktiin ke elo Fir, kalo gue nggak ada perasaan apa-apa. Cuma kangen sama sahabat lama. Gimanapun juga, dia masih ngutang satu janji sama gue. Dan gue bakal bikin dia nepatin janjinya itu.”
Tapi seminggu setelah perbincangan dengan Fira di kampus, Nisa masih belum juga menelpon Mas Yudha. Dan dua minggu sudah kenangan-kenangan akan Mas Yudha berkelebat di kepala Nisa. All the time.
Gue emang cemen.
Berarti bener dong kata Fira, mungkin aja dia emang cinta pertama gue.
Oh bukan, bukan, bukan. Mas Yudha Cuma sahabat Mas Didit yang kebetulan akrab sama gue.
Nggak lebih.
“Jadi gimana Nis?” Fira duduk disamping Nisa.
“Apanya yang gimana?”
“Your old friend.”
“Ah, itu…emmm… belom.”
“Belom apanya?”
“Belom nelponnya.”
“Hah, beloommm???”
“Besok deh.”
Akhirnya Nisa memberanikan diri menelpon Mas Yudha. Dia menimang-nimang hp kecilnya.
“Halo mas! Pakabar? Masih jomblo nggak??” terlalu frontal
“Halo mas! Piye kabare?” terlalu sok akrab.
“Halo mas! Ini aku, Nisa. Mana lukisannya?” kayak nagih apaan aja.
Nada tunggu masih berbunyi. Nisa menunggu dengan tak sabar.
“Halo?”
Ups. Ingin rasanya Nisa memencet tombol merah dan menyudahi telepon ini.
“Halo.” Balasnya kaku.
“Ini siapa?”
“Ini Nisa, Mas.”
“Nisa..yang mana yaaa?”
“Mas lupa?”
“Sebentar. Nisa yang manaaa? Nisa Tri Hapsari? Nisa Pohan? Atau Nisa Bahar?”
Nisa nggak bersuara.
Hening lama. Lama sekali.
“Oh iya! Chairunnisa kan? Resepsionis? Tumben telepon. Kenapa Nis?”
Nisa terdiam lama. Lama sekali.
“Halooooo??”
Nisa menekan tombol merah.

2 komentar: