Sabtu, 04 Agustus 2012

COLORS

“Selamat siang,” salam Pak Made sebelum melangkahkan kaki ke luar kelas. Dalam waktu sepersekian detik, kelas yang tadinya senyap mencekam berubah seperti suasana di pasar. Berisik. 

Kalau teman-temanku memasukkan buku-bukunya dengan berisik, bahkan si Galih berteriak-teriak, aku memilih melakukannya pelan tanpa suara. Selagi aku merapikan alat tulisku, mataku menangkap tangan Kiara hendak memasukkan pensil mekanikku ke dalam kotak pensilnya.


“Kiara, itu pensilku.” Ujarku kalem. Ah Kiara. Aku curiga dia ini sebenarnya seorang kleptomania. Hobinya ya itu tadi, memasukkan sembarang benda ke dalam tasnya. Kiara sebenarnya gadis yang manis dan baik hati. Cuma kita memang harus lebih menjaga barang-barang kita bila berada di dekat Kiara. Bukannya memang ingin nyolong, tetapi mungkin dia lupa benda milik siapa yang dia pegang. Bahkan pernah spidol yang notabene property kelas ditemukan di tasnya.

“Oh, maaf, aku kira punyaku.” Dengan senyum cengengesan, Kiara mengembalikan pensilku. 

“Kiara! Bandoku manaa??” seru Bia, si centil yang penampilannya over-aksesoris. 

“Bando? Emang aku pinjam ya?” Kiara malah bingung sendiri.

“Biar aku periksa.” Tanpa disuruh, Bia mengaduk-aduk isi tas Kiara. “Got it! Dasar pelupa kamu.” Bia melambai-lambaikan bando biru mudanya di depan muka Kiara.

“Maaf…”

“Hmmftt. Halo anak baru. Gimana kabar kak Fabian?” Tanya Bia dengan nada sarkastik dan picingan mata yang jelas-jelas mengundang tamparan.

Aku tersenyum sedikit. Anak seperti Bia nggak usah diledenin, ntar sakit hati, begitu kata Olivia. Aku menghela napas. Aku sebenarnya lagi kesal bukan kepalang. Bukan, bukan pada Bia. Aku udah mengembangkan system pertanahan emosi kalau lagi berhadapan dengan Queen of Gossip satu itu. Bukan pula pada Kiara. Memang sih dia suka ngambil barang-barangku, tapi tidak pernah sampai hilang. Aku kesal pada Olivia, sepupu sekaligus teman sekelasku. Dia menghilangkan novel Dan Brown kesayanganku, yang kubeli dengan penuh perjuangan. Sebelnya, dia tetap bersikeras, bahkan dia juga berani bersumpah, bahwa dia sudah mengembaikannya. Aku nggak percaya. Iyalah, aku udah bongkar-bongkar kamar tapi novel itu tak kutemukan. Menyebalkan.

 Dia juga membatalkan begitu saja rencana mengunjungi keponakanku yang baru lahir. Seminggu yang lalu dia juga membatalkan rencana belajar bersama. Aku harus mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran matematika karena opname seminggu dan Olivia itu ratunya matematika, jadi aku memohon bantuannya. Dan alasan dibalik pembatalan-pembatalan itu adalah karena si cowok misterius yang katanya sekolah di SMA Angkasa. Aku lupa namanya siapa. No…No siapalah gitu. Nobita mungkin. Ah ya, Naufal namanya. Tapi aku nggak begitu peduli dengan urusan cinta monyetnya Olivia. Yang aku pedulikan adalah kenapa dia berubah sikap sejak jadian dengan Naufal dari luar angkasa itu? Apa emang semua orang yang udah mengenal cinta sikapnya berubah? Lihat saja si Olivia itu. Anak itu jadi asik dengan dunianya sendiri. Suka senyam-senyum sama hp. Penampilannya juga berubah, jadi lebih modis. Cuma sayangnya, selain suka membatalkan janji, dia juga jadi lebih rajin smsan daripada mengerjakan tugas. Dan kalau sudah begitu, buku tugasku yang jadi sasarannya.

“Sall, please aku boleh ya pinjam tugas kamu? aku nggak sempat ngerjain, kemaren aku capek banget, abis jalan-jalan sama Naufal. Dia orangnya emang gitu, suka nggak rela aja kalo aku ngajak pulang. Tau deh ya, mungkin dia pengennya aku 24 jam sama dia terus. Tapi kan nggak mungkin, ntar si Piko siapa yang ngurus?? Aduuuhh, Sall, kamu kok diem aja. Pinjemin aku dooonggg. Please yah. Nanti aku kerumahmu, sambil bawa coklat deh. Aku tau kamu nggak tahan godaan coklat. Apalagi coklat Cadbury. Itu sebenernya Naufal yang kasih buat aku, tapi nggak apa-apa deh daripada aku dimakan hidup-hidup sama Bu Selma. Mau kan ya? Nanti aku bawakan Whiskas juga deh buat si Poki. Biar kucing kamu itu seneng, bisa makan yang lain selain ikan asin sisa makan kamu. Mau nggak? Please yah bantu aku, kita kan sodaraaaaa….”pinta Olivia suatu saat via telepon, dengan penekanan pada kata terakhir. Bayangan coklat Cadbury yang jarang-jarang bisa aku nikmati berputar-putar di kepalaku, maka aku iyakan saja permintaan Olivia.

Ya, dunia Olivia sekarang berpusat pada seorang Prince Naufal from Outer Space.
Dennis, sang ketua kelas masuk dengan jalan yang digagah-gagahkan. Anak aneh, sejak dipilih jadi ketua kelas langsung sok berwibawa gitu. Apasih. 

“Teman-teman. Bagi kalian yang sudah siap ulangan Fisika, kalian harus gigit jari. Sedangkan yang belum belajar atau belum nyiapin contekan, bersiap-siaplah dengan letupan confetti dalam hati kalian. Karena sesungguhnya…”

“Udah buruan, lama banget sih!!” Asep yang lagi menulis rumus di selembar kertas kecil tampak terganggu.

“Karena sesungguhnya Pak Firman sedang ada halangan jadi beliau tidak bisa mengajar kita siang ini. Sekian, terimakasih.” Lanjut Dennis dengan tenang, tak peduli akan interupsi Asep. Lalu dengan gagahnya dia berjalan ke tempat duduknya. 

Tanpa dikomando, semua bersorak sorai. Termasuk aku. Yaiyalah, siapa sih yang tidak senang kalau ulangan seganas fisika diundur? Ini fenomena alam terbaik yang pernah ada pemirsaaaahhhh….

Asep dengan sukacitanya langsung merobek-robek kertas contekannya dan melemparnya ke udara. Asep memang tukang contek sejati. Dia mengaku kemampuan menghafalnya parah, jadi menurut dia, hanya buang-buang waktu saja membaca buku semalaman tapi tidak ada yang bakal nyangkut di kepala berambut merah karena sinar mataharinya itu. Jadi dia memang begadang, bukan untuk belajar, tapi membuat konsep. Rekornya adalah contekan selebar struk belanjaan super panjang yang dia sembunyikan di kaos kakinya. Ajaibnya, menurut cerita Olivia, hampir setiap ulangan dia tidak pernah ketahuan, kecuali ketika ulangan matematika. Pak Bono menangkapnya pura-pura bersin sambil melirik jawaban Roni, teman sebangkunya.

Kelas jadi berisik lagi. Bahkan kali ini tingkat keberisikannya adalah 20 dalam skala 1 sampai 10. Benar-benar kelewatan. Aku bersumpah lima menit lagi Zainal si ketua kelas XI IPA 2 –dia terkenal sebagai ketua kelas paling gahar sepanjang masa-- akan menggedor pintu kelas kami karena suara riuh rendah dari kelas ini mengganggu proses belajar kelas mereka yang terletak persis di sebelah kelas kami.

“XI IPA 3, bisa diam nggak sih kalian?? Mengganggu kelas kami tauk!!” nah tuh, apa kubilang. Zainal sudah berdiri di muka pintu. Anak-anak cewek langsung terdiam seketika karena suara galak dan tampang gahar Zainal. Sedangkan yang cowok cuek tak peduli.

“BISA DIAM NGGAK??” Zainal mengeluarkan suara rockernya. Saat itu barulah anak-anak cowok diam semua. Dennis segera menghampiri Zainal untuk berdiplomasi demi sebuah kata damai, dan menghindari pertumpahan darah. Duh, berlebihan.

Aku menghela napas. Aku tidak suka suasana berisik. Aku sudah bilang pada Mama, bahwa aku sepertinya tidak cocok sekolah disini. Ya, aku murid pindahan. Aku sudah menetapkan satu sekolah favorit yang terkenal super tegas dan disiplin disini sebagai calon sekolahku kala itu sebelum pindah ke kota ini. Tapi Mama tidak mau. Dia tetap menyekolahkanku disini. Katanya biar aku langsung bisa beradaptasi lebih cepat dengan bantuan Olivia. Bahkan Mama mengatur agar aku satu kelas dengannya. 

Anak-anak disini karakternya unik-unik, dengan tingkat keragaman sifat 2 kali lipat dari kelasku dulu. Di sekolahku dulu, tipe umum siswanya adalah bermuka datar dan serius, buku-buku tebal disandang kesana kemari. Bahkan ketika jam kosong, mereka tetap saja menekuni buku atau berdiskusi tentang masalah pembatasan senjata nuklir, pro kontra cloning dan lain sebagainya. Benar-benar suasana yang kaku. Dan membosankan. Mungkin karena terbiasa dengan suasana belajar yang tenang, aku jadi risih dengan suasana berisik saat ini.

Aku melayangkan pandangan ke sekitarku.
Anak-anak yang tergolong rajin duduknya di depan. Ada si Aryo, bintang kelas yang tangannya tidak pernah pegal karena mengangkat tangan. Kalau ada penghargaan “Pengangkat Tangan Paling Sering” dialah juaranya. Aryo selalu menjawab pertanyaan apapun yang diajukan guru dengan semangat. Meskipun tidak semua jawabannya benar, tapi dia pede saja. Seperti Hermione Granger gitulah. Aku benar-benar salut, soalnya jarang sekali aku bisa pede mengangkat tangan dan menjawab dengan penuh percaya diri seperti dia. Nah sekarang anak itu asik berbincang dengan Vino, aku sih tidak bisa menguping dengan jarak sejauh ini, tetapi dari raut mukanya, dia pasti sedang berdebat tentang bagaimana Batman dan Robin bisa berteman, atau terbuat dari apakah Kryptonite itu sebenarnya. Atau bagaimana caranya Superman bisa terbang dengan selembar kain merah dan celana dalam merah yang dipakai di luar. What a strange way to fly. Nah kan melantur.

Aku mengetuk-ngetuk kepala dengan ujung pensil agar bayangan Superman bersayap –yang dalam kepalaku terlihat lebih realistic, padahal sih jauh lebih aneh—bisa hilang. Aku kembali memperhatikan sekelilingku.

Ada Febri, si pendiam. Diam diam menghanyutkan bangetlah. Jarang sekali dia ngomong, mungkin suaranya itu termasuk langka jadi harus diirit. Tetapi dia pernah mengguncang seantero kelas dengan nilai 100 dalam ujian matematika dimana rata-rata siswa mendapat 40. Kalo aku waktu itu dapat 40,5. Alhamdulillah.

Sedangkan si Olivia lagi asik mojok dengan kedua tangan menggenggam BlackBerry, tersenyum-senyum sendiri. Bahkan dia tertawa cekikikan. Pasti kena rayuannya si Naufal lagi nih. Rayuan batok kelapa.

Ah, ngomongin orang lain terus. Sampe lupa deh. Aku sebenarnya baru dua bulan disini, jadi sebenarnya belum punya hak veto untuk ngegosipin makhluk penghuni kelas ini. Aku belum punya teman, bahkan aku belum pernah ngobrol banyak, kecuali dengan si tengil Olivia. Kiara, teman sebangkuku pun lebih sering menghilang, beredar kesana kemari dengan berisik. Jadi bahkan dengan Kiara pun aku belum pernah ngobrol banyak.

Tapi biar deh. Aku punya dendam kesumat dengan beberapa orang disini. Yah, soalnya kan aku ini si anak baru, nggak lengkap rasanya kalo belum pernah di-bully. Seakan-akan sudah tertulis di jidatku, “Hai! Aku anak baru, silahkan di-bully.” Hari pertama aku menempati kelas ini, rokku sudah ketempelan bekas permen karet. Pelakunya, si Togar, anak batak penghuni bangku belakang. Sepanjang hari dia senyam-senyum terus. Aku sih pertamanya seneng-seneng aja, ada kemungkinan dia mau berteman denganku. Tapi rupanya, ada bekas permen karet di balik senyum-senyumnya yang memamerkan deretan giginya yang besar-besar. Sumpah, rasanya kepalaku pengen meledak!

Terus ada gengnya si Rania, yang dengan tega-teganya menjadikanku budak sementara mereka.
“Hai, anak baru. Pinjam pulpenmu boleh ya? Oh ya itu papan tulis dekil banget. Bersihin dong. Kelas ini cinta bersih, dan sebagai pelajaran pertama kamu, kamu harus bersih-bersih. Ieeewww, cepetan. Habis itu, kamu lihat kan lantainya kotor badaiii. Sapu ada di lemari, kamu bersihin ya. Ini permen, buat gaji pertama kamu. cepat kerjakan dong!” dasar Rania tengil. Pengen rasanya aku jambak rambut lurus hasil rebonding-nya itu. Tapi saat itu aku nggak bisa berkutik. Bahkan anak-anak lain ikut-ikutan nyuruh aku macam-macam. Benerin jam dinding agar waktunya telat 10 menit (itu sih akal-akalannya si Asep aja biar ga terlihat terlambat lagi),  membersihkan sepatu Dennis (ini keterlaluan!), bahkan mengerjakan soal matematika yang diberikan Aryo. Tega mereka semua.

Dan kejahatan mereka terus berlangsung. Bahkan lebih parah ketika mereka mulai meledek badanku yang kurus dan rata seperti papan selancar, dan tanda lahir di leherku. Aku sampai menangis bahkan. Thank God, ‘coz that cry saved me. Mungkin karena nggak tega atau nggak mau kena hukuman, mereka jadi jarang ngeledek aku lagi.

The most painful thing is, ketika aku jadi musuh bebuyutannya Bia dan kawan-kawannya. Entah karena apa. Tapi menurut Olivia sih, itu karena ketika pertama menginjakkan kaki di sekolah ini, aku dipandu dengan kak Fabian. Memang sih orangnya cakep, cakep banget malah. Aku juga bingung kenapa waktu itu kak Fabian mau menolong si cewek cupu dari kerajaan antah berantah itu. Dan kak Fabian itu nggak berhenti bicara. Segala macam ditanyain, mulai dari aku berasal dari kota mana sampe warna bulu kucingku tuh apa. Nah, si Bia ini terbakar cemburu. Dia kan lagi dalam mission impossible untuk ngejar-ngejar kak Fabian. Tapi tingkahnya seperti udah jadian dengan Kak Fabian aja. Menurut dia, aku berusaha menggaet kak Fabian. Dih. Aku tuh tetep setia dengan kakak Zayn Malik (salah satu personil One Direction) yang sedang menungguku disana. Heheheee.. mimpi doang ditinggiin. Sejak saat itulah, tepatnya sejak dari detik pertama aku menginjakkan kaki disini, aku dapat musuh. Seram. Dan jujur saja, hal itu membuatku stress. Dan kalau stress aku butuh cokelat, paling minimal sebatang gede Cadbury. 

Si Poppy, yang ngaku-ngaku sebagai calon pewaris takhta Inggris itu, menjuluki aku sebagai The Newcomer Alien. Kejam. Nggak tau kenapa sih. Ah aku jadi penasaran. Makanya aku menghampiri dia.

“Hai, Pop.”

“Hai, alien, oh sorry, Sally.” 
 
“Aku mau Tanya nih, boleh nggak?”

As long it’s not a math equality or stuff like that, silahkan aja.” Poppy yang masih keturunan Inggris ini emang kalo ngomong gado-gado. Katanya biar warisan leluhurnya terjaga. Berlebihan deh ya.

“Kenapa sih kamu panggil aku ‘newcomer alien’?? Terakhir aku cek, aku 100% manusia loh.”

“Kamu tersinggung? Aduuh, I am really sorry… I don’t know if that hurt you…”

Pertanyaannya adalah, siapa sih yang nggak ngamuk kalo dipanggil alien?

“Nggak apa-apa kok. Why do you call me like that? If that means a positive meaning, I won’t mad at you. Tapi kalo itu artinya kamu ngeledek aku sih yaaaa....” aku menggantung kalimatku, sementara tanduk merah muncul pelan-pelan di kepalaku.

Calm down, Princess Sally. Aku nggak ada maksud untuk ngeledek kamu kok. Yah, kayak alien gitu deh, nggak mau berbaur. Aku Cuma heran aja sama kamu, kok udah dua bulan disini tapi seperti belum punya teman dekat? Apa kamu nggak pengen berbaur dengan anak-anak lain?”

“Hmmm, sebenarnya sih aku masih trauma aja gara-gara kalian hobi banget bikin aku depresi di awal-awal. Si Bia bahkan masih sering bikin aku kesel. Makanya aku jaga jarak aja, daripada sakit hati lagi nanti. Jujur aja, aku belum pernah menemukan karakter seekstrim makhluk-makhluk disini sebelumnya. Aku belum pernah jadi bahan gosipan, belum pernah tau rasanya di-bully, dan memang pada dasarnya sih aku emang susah berbaur. Aku udah terlalu nyaman di sekolahku yang lama, dan nggak pernah membyangkan pindah sekolah. Makanya I was shocked. I have nothing to do, except stay quiet like a stone.”

Ah, I bet your life was so boring. Ha-ha. Sally, remember this, we live in colors. Kan nggak asik juga kalau kita Cuma menemukan satu warna dalam kehidupan kita. Putih, putih aja. Hitam, hitam aja. Kamu harus bisa berbaur dan menemukan teman. Percaya deh, mereka-mereka itu asik juga kok diajak berteman. Si Togar, biar iseng dan ngeselin, tapi anaknya lucu juga. Dia itu badut kelas. Soal pem-bully-an itu, kita nggak maksud untuk mem-bully kamu. kita Cuma iseng aja kok. Buktinya sekarang udah nggak ada yang jahat sama kamu lagi kan?”

“Si Bia masih ngeselin.” 

“Anak itu memang begitu kok. Aku juga pernah jadi korbannya. Tapi siapa sih yang melewati masa SMA tanpa kesulitan? Pasti nggak ada lah.”

Dan Poppy terus bercerita tentang betapa warna-warninya berteman itu. Ya, memang nggak semua orang bersifat baik dan kita nggak bisa control kelakuan mereka kan? Tapi justru itulah yang mewarnai hari-hari kita. Terbayang betapa membosankannya hidupku dulu, ketika semua orang berorientasi pada kompetisi mengejar nilai tertinggi. Rasanya aku begitu tertekan. Dan seakan kehidupan SMA tak lebih dari angka 9. Dan benar kata Poppy, dari sisi sosial hidupku kurang warna. Dan sekarang aku harus mewarnai hari-hariku dengan teman-teman baru.

Yep, watch out everyone! I am not the newcomer alien anymore, I am the new Sally who want to make friends! I am ready to LIFE! We live in colors!!

“Sall, ke kantin yuk. Udah istirahat nih,” Poppy menarik lenganku. “Olive, mau ikut?” Poppy memanggil Olivia. Anak itu langsung melompat dari tempat duduknya, langsung bergabung dengan aku dan Poppy.

Sepanjang perjalanan ke kantin, Olivia tak henti-hentinya mengoceh tentang si Prince Naufal from Outer Space. Biasanya aku kesal bukan kepalang, tapi kini aku maklum. Orang yang sedang kasmaran emang suka sinting kayak saudaraku ini.

“Sally!”

Aku berhenti. Tiba-tiba Kak Fabian sudah ada di depanku, menyodorkan sebuah novel. Waduh, ini kan novel yang kukira dihilangkan Olivia! Wah ternyata aku emang udah pikun stadium akhir. Memoriku berputar pelan-pelan. Ya ampun, aku sama sekali lupa bahwa Olivia memang sudah mengembalikannya. Hari itu aku pulang dengan menggenggam novel itu dan bertemu Kak Fabian di koridor. Dia juga suka membaca novel karangan Dan Brown, dan ia pun meminjamnya. Aku harus minta maaf pada Olivia nih, sambil membawa sekotak coklat dan sungkem sekalian!

“Ini novelmu, makasih ya. Maaf lama baru dikembalikan. Ceritanya seru banget.”

“Loh ini kan… Err, samasama kak.” 

Kak Fabian pun mengajakku ngobrol sebentar.

Di balik punggungku, aku bisa merasakan tatapan mata Bia membara.

Waduh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar