“Selamat siang,” salam Pak Made sebelum
melangkahkan kaki ke luar kelas. Dalam waktu sepersekian detik, kelas yang
tadinya senyap mencekam berubah seperti suasana di pasar. Berisik.
Kalau teman-temanku memasukkan buku-bukunya
dengan berisik, bahkan si Galih berteriak-teriak, aku memilih melakukannya
pelan tanpa suara. Selagi aku merapikan alat tulisku, mataku menangkap tangan
Kiara hendak memasukkan pensil mekanikku ke dalam kotak pensilnya.
“Kiara, itu pensilku.” Ujarku kalem. Ah Kiara.
Aku curiga dia ini sebenarnya seorang kleptomania. Hobinya ya itu tadi,
memasukkan sembarang benda ke dalam tasnya. Kiara sebenarnya gadis yang manis
dan baik hati. Cuma kita memang harus lebih menjaga barang-barang kita bila
berada di dekat Kiara. Bukannya memang ingin nyolong, tetapi mungkin dia lupa
benda milik siapa yang dia pegang. Bahkan pernah spidol yang notabene property
kelas ditemukan di tasnya.
“Oh, maaf, aku kira punyaku.” Dengan senyum
cengengesan, Kiara mengembalikan pensilku.
“Kiara! Bandoku manaa??” seru Bia, si centil
yang penampilannya over-aksesoris.
“Bando? Emang aku pinjam ya?” Kiara malah
bingung sendiri.
“Biar aku periksa.” Tanpa disuruh, Bia
mengaduk-aduk isi tas Kiara. “Got it! Dasar pelupa kamu.” Bia
melambai-lambaikan bando biru mudanya di depan muka Kiara.
“Maaf…”
“Hmmftt. Halo anak baru. Gimana kabar kak
Fabian?” Tanya Bia dengan nada sarkastik dan picingan mata yang jelas-jelas
mengundang tamparan.
Aku tersenyum sedikit. Anak seperti Bia nggak
usah diledenin, ntar sakit hati, begitu kata Olivia. Aku menghela napas. Aku
sebenarnya lagi kesal bukan kepalang. Bukan, bukan pada Bia. Aku udah
mengembangkan system pertanahan emosi kalau lagi berhadapan dengan Queen of
Gossip satu itu. Bukan pula pada Kiara. Memang sih dia suka ngambil
barang-barangku, tapi tidak pernah sampai hilang. Aku kesal pada Olivia, sepupu
sekaligus teman sekelasku. Dia menghilangkan novel Dan Brown kesayanganku, yang
kubeli dengan penuh perjuangan. Sebelnya, dia tetap bersikeras, bahkan dia juga
berani bersumpah, bahwa dia sudah mengembaikannya. Aku nggak percaya. Iyalah,
aku udah bongkar-bongkar kamar tapi novel itu tak kutemukan. Menyebalkan.
Dia
juga membatalkan begitu saja rencana mengunjungi keponakanku yang baru lahir.
Seminggu yang lalu dia juga membatalkan rencana belajar bersama. Aku harus
mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran matematika karena opname seminggu dan
Olivia itu ratunya matematika, jadi aku memohon bantuannya. Dan alasan dibalik
pembatalan-pembatalan itu adalah karena si cowok misterius yang katanya sekolah
di SMA Angkasa. Aku lupa namanya siapa. No…No siapalah gitu. Nobita mungkin. Ah
ya, Naufal namanya. Tapi aku nggak begitu peduli dengan urusan cinta monyetnya
Olivia. Yang aku pedulikan adalah kenapa dia berubah sikap sejak jadian dengan
Naufal dari luar angkasa itu? Apa emang semua orang yang udah mengenal cinta
sikapnya berubah? Lihat saja si Olivia itu. Anak itu jadi asik dengan dunianya
sendiri. Suka senyam-senyum sama hp. Penampilannya juga berubah, jadi lebih
modis. Cuma sayangnya, selain suka membatalkan janji, dia juga jadi lebih rajin
smsan daripada mengerjakan tugas. Dan kalau sudah begitu, buku tugasku yang
jadi sasarannya.
“Sall, please aku boleh ya pinjam tugas kamu?
aku nggak sempat ngerjain, kemaren aku capek banget, abis jalan-jalan sama
Naufal. Dia orangnya emang gitu, suka nggak rela aja kalo aku ngajak pulang.
Tau deh ya, mungkin dia pengennya aku 24 jam sama dia terus. Tapi kan nggak
mungkin, ntar si Piko siapa yang ngurus?? Aduuuhh, Sall, kamu kok diem aja.
Pinjemin aku dooonggg. Please yah. Nanti aku kerumahmu, sambil bawa coklat deh.
Aku tau kamu nggak tahan godaan coklat. Apalagi coklat Cadbury. Itu sebenernya
Naufal yang kasih buat aku, tapi nggak apa-apa deh daripada aku dimakan
hidup-hidup sama Bu Selma. Mau kan ya? Nanti aku bawakan Whiskas juga deh buat
si Poki. Biar kucing kamu itu seneng, bisa makan yang lain selain ikan asin
sisa makan kamu. Mau nggak? Please yah bantu aku, kita kan sodaraaaaa….”pinta
Olivia suatu saat via telepon, dengan penekanan pada kata terakhir. Bayangan
coklat Cadbury yang jarang-jarang bisa aku nikmati berputar-putar di kepalaku,
maka aku iyakan saja permintaan Olivia.
Ya, dunia Olivia sekarang berpusat pada seorang
Prince Naufal from Outer Space.
Dennis, sang ketua kelas masuk dengan jalan
yang digagah-gagahkan. Anak aneh, sejak dipilih jadi ketua kelas langsung sok
berwibawa gitu. Apasih.
“Teman-teman. Bagi kalian yang sudah siap
ulangan Fisika, kalian harus gigit jari. Sedangkan yang belum belajar atau
belum nyiapin contekan, bersiap-siaplah dengan letupan confetti dalam hati
kalian. Karena sesungguhnya…”
“Udah buruan, lama banget sih!!” Asep yang
lagi menulis rumus di selembar kertas kecil tampak terganggu.
“Karena sesungguhnya Pak Firman sedang ada
halangan jadi beliau tidak bisa mengajar kita siang ini. Sekian, terimakasih.”
Lanjut Dennis dengan tenang, tak peduli akan interupsi Asep. Lalu dengan
gagahnya dia berjalan ke tempat duduknya.
Tanpa dikomando, semua bersorak sorai.
Termasuk aku. Yaiyalah, siapa sih yang tidak senang kalau ulangan seganas
fisika diundur? Ini fenomena alam terbaik yang pernah ada pemirsaaaahhhh….
Asep dengan sukacitanya langsung merobek-robek
kertas contekannya dan melemparnya ke udara. Asep memang tukang contek sejati.
Dia mengaku kemampuan menghafalnya parah, jadi menurut dia, hanya buang-buang
waktu saja membaca buku semalaman tapi tidak ada yang bakal nyangkut di kepala
berambut merah karena sinar mataharinya itu. Jadi dia memang begadang, bukan
untuk belajar, tapi membuat konsep. Rekornya adalah contekan selebar struk
belanjaan super panjang yang dia sembunyikan di kaos kakinya. Ajaibnya, menurut
cerita Olivia, hampir setiap ulangan dia tidak pernah ketahuan, kecuali ketika
ulangan matematika. Pak Bono menangkapnya pura-pura bersin sambil melirik
jawaban Roni, teman sebangkunya.
Kelas jadi berisik lagi. Bahkan kali ini
tingkat keberisikannya adalah 20 dalam skala 1 sampai 10. Benar-benar
kelewatan. Aku bersumpah lima menit lagi Zainal si ketua kelas XI IPA 2 –dia
terkenal sebagai ketua kelas paling gahar sepanjang masa-- akan menggedor pintu
kelas kami karena suara riuh rendah dari kelas ini mengganggu proses belajar
kelas mereka yang terletak persis di sebelah kelas kami.
“XI IPA 3, bisa diam nggak sih kalian??
Mengganggu kelas kami tauk!!” nah tuh, apa kubilang. Zainal sudah berdiri di
muka pintu. Anak-anak cewek langsung terdiam seketika karena suara galak dan
tampang gahar Zainal. Sedangkan yang cowok cuek tak peduli.
“BISA DIAM NGGAK??” Zainal mengeluarkan suara
rockernya. Saat itu barulah anak-anak cowok diam semua. Dennis segera
menghampiri Zainal untuk berdiplomasi demi sebuah kata damai, dan menghindari
pertumpahan darah. Duh, berlebihan.
Aku menghela napas. Aku tidak suka suasana
berisik. Aku sudah bilang pada Mama, bahwa aku sepertinya tidak cocok sekolah
disini. Ya, aku murid pindahan. Aku sudah menetapkan satu sekolah favorit yang
terkenal super tegas dan disiplin disini sebagai calon sekolahku kala itu
sebelum pindah ke kota ini. Tapi Mama tidak mau. Dia tetap menyekolahkanku
disini. Katanya biar aku langsung bisa beradaptasi lebih cepat dengan bantuan
Olivia. Bahkan Mama mengatur agar aku satu kelas dengannya.
Anak-anak disini karakternya unik-unik, dengan
tingkat keragaman sifat 2 kali lipat dari kelasku dulu. Di sekolahku dulu, tipe
umum siswanya adalah bermuka datar dan serius, buku-buku tebal disandang kesana
kemari. Bahkan ketika jam kosong, mereka tetap saja menekuni buku atau
berdiskusi tentang masalah pembatasan senjata nuklir, pro kontra cloning dan
lain sebagainya. Benar-benar suasana yang kaku. Dan membosankan. Mungkin karena
terbiasa dengan suasana belajar yang tenang, aku jadi risih dengan suasana
berisik saat ini.
Aku melayangkan pandangan ke sekitarku.
Anak-anak yang tergolong rajin duduknya di
depan. Ada si Aryo, bintang kelas yang tangannya tidak pernah pegal karena
mengangkat tangan. Kalau ada penghargaan “Pengangkat Tangan Paling Sering”
dialah juaranya. Aryo selalu menjawab pertanyaan apapun yang diajukan guru
dengan semangat. Meskipun tidak semua jawabannya benar, tapi dia pede saja.
Seperti Hermione Granger gitulah. Aku benar-benar salut, soalnya jarang sekali
aku bisa pede mengangkat tangan dan menjawab dengan penuh percaya diri seperti
dia. Nah sekarang anak itu asik berbincang dengan Vino, aku sih tidak bisa
menguping dengan jarak sejauh ini, tetapi dari raut mukanya, dia pasti sedang
berdebat tentang bagaimana Batman dan Robin bisa berteman, atau terbuat dari
apakah Kryptonite itu sebenarnya. Atau bagaimana caranya Superman bisa terbang
dengan selembar kain merah dan celana dalam merah yang dipakai di luar. What a
strange way to fly. Nah kan melantur.
Aku mengetuk-ngetuk kepala dengan ujung pensil
agar bayangan Superman bersayap –yang dalam kepalaku terlihat lebih realistic,
padahal sih jauh lebih aneh—bisa hilang. Aku kembali memperhatikan
sekelilingku.
Ada Febri, si pendiam. Diam diam menghanyutkan
bangetlah. Jarang sekali dia ngomong, mungkin suaranya itu termasuk langka jadi
harus diirit. Tetapi dia pernah mengguncang seantero kelas dengan nilai 100
dalam ujian matematika dimana rata-rata siswa mendapat 40. Kalo aku waktu itu
dapat 40,5. Alhamdulillah.
Sedangkan si Olivia lagi asik mojok dengan
kedua tangan menggenggam BlackBerry, tersenyum-senyum sendiri. Bahkan dia
tertawa cekikikan. Pasti kena rayuannya si Naufal lagi nih. Rayuan batok
kelapa.
Ah, ngomongin orang lain terus. Sampe lupa
deh. Aku sebenarnya baru dua bulan disini, jadi sebenarnya belum punya hak veto
untuk ngegosipin makhluk penghuni kelas ini. Aku belum punya teman, bahkan aku
belum pernah ngobrol banyak, kecuali dengan si tengil Olivia. Kiara, teman
sebangkuku pun lebih sering menghilang, beredar kesana kemari dengan berisik.
Jadi bahkan dengan Kiara pun aku belum pernah ngobrol banyak.
Tapi biar deh. Aku punya dendam kesumat dengan
beberapa orang disini. Yah, soalnya kan aku ini si anak baru, nggak lengkap
rasanya kalo belum pernah di-bully. Seakan-akan sudah tertulis di jidatku,
“Hai! Aku anak baru, silahkan di-bully.” Hari pertama aku menempati kelas ini,
rokku sudah ketempelan bekas permen karet. Pelakunya, si Togar, anak batak
penghuni bangku belakang. Sepanjang hari dia senyam-senyum terus. Aku sih
pertamanya seneng-seneng aja, ada kemungkinan dia mau berteman denganku. Tapi rupanya,
ada bekas permen karet di balik senyum-senyumnya yang memamerkan deretan
giginya yang besar-besar. Sumpah, rasanya kepalaku pengen meledak!
Terus ada gengnya si Rania, yang dengan
tega-teganya menjadikanku budak sementara mereka.
“Hai, anak baru. Pinjam pulpenmu boleh ya? Oh
ya itu papan tulis dekil banget. Bersihin dong. Kelas ini cinta bersih, dan
sebagai pelajaran pertama kamu, kamu harus bersih-bersih. Ieeewww, cepetan.
Habis itu, kamu lihat kan lantainya kotor badaiii. Sapu ada di lemari, kamu
bersihin ya. Ini permen, buat gaji pertama kamu. cepat kerjakan dong!” dasar
Rania tengil. Pengen rasanya aku jambak rambut lurus hasil rebonding-nya itu.
Tapi saat itu aku nggak bisa berkutik. Bahkan anak-anak lain ikut-ikutan nyuruh
aku macam-macam. Benerin jam dinding agar waktunya telat 10 menit (itu sih
akal-akalannya si Asep aja biar ga terlihat terlambat lagi), membersihkan sepatu Dennis (ini
keterlaluan!), bahkan mengerjakan soal matematika yang diberikan Aryo. Tega
mereka semua.
Dan kejahatan mereka terus berlangsung. Bahkan
lebih parah ketika mereka mulai meledek badanku yang kurus dan rata seperti
papan selancar, dan tanda lahir di leherku. Aku sampai menangis bahkan. Thank God, ‘coz that cry saved me.
Mungkin karena nggak tega atau nggak mau kena hukuman, mereka jadi jarang
ngeledek aku lagi.
The most painful thing is, ketika aku jadi
musuh bebuyutannya Bia dan kawan-kawannya. Entah karena apa. Tapi menurut
Olivia sih, itu karena ketika pertama menginjakkan kaki di sekolah ini, aku
dipandu dengan kak Fabian. Memang sih orangnya cakep, cakep banget malah. Aku
juga bingung kenapa waktu itu kak Fabian mau menolong si cewek cupu dari
kerajaan antah berantah itu. Dan kak Fabian itu nggak berhenti bicara. Segala
macam ditanyain, mulai dari aku berasal dari kota mana sampe warna bulu
kucingku tuh apa. Nah, si Bia ini terbakar cemburu. Dia kan lagi dalam mission
impossible untuk ngejar-ngejar kak Fabian. Tapi tingkahnya seperti udah jadian
dengan Kak Fabian aja. Menurut dia, aku berusaha menggaet kak Fabian. Dih. Aku
tuh tetep setia dengan kakak Zayn Malik (salah satu personil One Direction)
yang sedang menungguku disana. Heheheee.. mimpi doang ditinggiin. Sejak saat
itulah, tepatnya sejak dari detik pertama aku menginjakkan kaki disini, aku
dapat musuh. Seram. Dan jujur saja, hal itu membuatku stress. Dan kalau stress
aku butuh cokelat, paling minimal sebatang gede Cadbury.
Si Poppy, yang ngaku-ngaku sebagai calon
pewaris takhta Inggris itu, menjuluki aku sebagai The Newcomer Alien. Kejam. Nggak
tau kenapa sih. Ah aku jadi penasaran. Makanya aku menghampiri dia.
“Hai, Pop.”
“Hai, alien, oh sorry, Sally.”
“Aku mau Tanya nih, boleh nggak?”
“As long
it’s not a math equality or stuff like that, silahkan aja.” Poppy yang
masih keturunan Inggris ini emang kalo ngomong gado-gado. Katanya biar warisan
leluhurnya terjaga. Berlebihan deh ya.
“Kenapa sih kamu panggil aku ‘newcomer alien’?? Terakhir aku cek, aku
100% manusia loh.”
“Kamu tersinggung? Aduuh, I am really sorry… I don’t know if that hurt you…”
Pertanyaannya adalah, siapa sih yang nggak
ngamuk kalo dipanggil alien?
“Nggak apa-apa kok. Why do you call me like that? If that means a positive meaning, I won’t
mad at you. Tapi kalo itu artinya kamu ngeledek aku sih yaaaa....” aku
menggantung kalimatku, sementara tanduk merah muncul pelan-pelan di kepalaku.
“Calm
down, Princess Sally. Aku nggak ada maksud untuk ngeledek kamu kok. Yah,
kayak alien gitu deh, nggak mau berbaur. Aku Cuma heran aja sama kamu, kok udah
dua bulan disini tapi seperti belum punya teman dekat? Apa kamu nggak pengen
berbaur dengan anak-anak lain?”
“Hmmm, sebenarnya sih aku masih trauma aja
gara-gara kalian hobi banget bikin aku depresi di awal-awal. Si Bia bahkan
masih sering bikin aku kesel. Makanya aku jaga jarak aja, daripada sakit hati lagi
nanti. Jujur aja, aku belum pernah menemukan karakter seekstrim makhluk-makhluk
disini sebelumnya. Aku belum pernah jadi bahan gosipan, belum pernah tau
rasanya di-bully, dan memang pada dasarnya sih aku emang susah berbaur. Aku
udah terlalu nyaman di sekolahku yang lama, dan nggak pernah membyangkan pindah
sekolah. Makanya I was shocked. I have
nothing to do, except stay quiet like a stone.”
“Ah, I
bet your life was so boring. Ha-ha. Sally, remember this, we live in colors.
Kan nggak asik juga kalau kita Cuma menemukan satu warna dalam kehidupan kita.
Putih, putih aja. Hitam, hitam aja. Kamu harus bisa berbaur dan menemukan
teman. Percaya deh, mereka-mereka itu asik juga kok diajak berteman. Si Togar,
biar iseng dan ngeselin, tapi anaknya lucu juga. Dia itu badut kelas. Soal
pem-bully-an itu, kita nggak maksud untuk mem-bully kamu. kita Cuma iseng aja
kok. Buktinya sekarang udah nggak ada yang jahat sama kamu lagi kan?”
“Si Bia masih ngeselin.”
“Anak itu memang begitu kok. Aku juga pernah
jadi korbannya. Tapi siapa sih yang melewati masa SMA tanpa kesulitan? Pasti
nggak ada lah.”
Dan Poppy terus bercerita tentang betapa
warna-warninya berteman itu. Ya, memang nggak semua orang bersifat baik dan
kita nggak bisa control kelakuan mereka kan? Tapi justru itulah yang mewarnai
hari-hari kita. Terbayang betapa membosankannya hidupku dulu, ketika semua
orang berorientasi pada kompetisi mengejar nilai tertinggi. Rasanya aku begitu
tertekan. Dan seakan kehidupan SMA tak lebih dari angka 9. Dan benar kata
Poppy, dari sisi sosial hidupku kurang warna. Dan sekarang aku harus mewarnai
hari-hariku dengan teman-teman baru.
Yep, watch out everyone! I am not the newcomer
alien anymore, I am the new Sally who want to make friends! I am ready to LIFE!
We live in colors!!
“Sall, ke kantin yuk. Udah istirahat nih,”
Poppy menarik lenganku. “Olive, mau ikut?” Poppy memanggil Olivia. Anak itu
langsung melompat dari tempat duduknya, langsung bergabung dengan aku dan
Poppy.
Sepanjang perjalanan ke kantin, Olivia tak
henti-hentinya mengoceh tentang si Prince Naufal from Outer Space. Biasanya aku
kesal bukan kepalang, tapi kini aku maklum. Orang yang sedang kasmaran emang
suka sinting kayak saudaraku ini.
“Sally!”
Aku berhenti. Tiba-tiba Kak Fabian sudah ada
di depanku, menyodorkan sebuah novel. Waduh, ini kan novel yang kukira
dihilangkan Olivia! Wah ternyata aku emang udah pikun stadium akhir. Memoriku
berputar pelan-pelan. Ya ampun, aku sama sekali lupa bahwa Olivia memang sudah
mengembalikannya. Hari itu aku pulang dengan menggenggam novel itu dan bertemu
Kak Fabian di koridor. Dia juga suka membaca novel karangan Dan Brown, dan ia
pun meminjamnya. Aku harus minta maaf pada Olivia nih, sambil membawa sekotak
coklat dan sungkem sekalian!
“Ini novelmu, makasih ya. Maaf lama baru
dikembalikan. Ceritanya seru banget.”
“Loh ini kan… Err, samasama kak.”
Kak Fabian pun mengajakku ngobrol sebentar.
Di balik punggungku, aku bisa merasakan
tatapan mata Bia membara.
Waduh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar