Kalau
naik transportasi online, baik motor maupun mobil, tidak afdhol rasanya kalau
tidak ngobrol sama drivernya.
“Mbak
kuliah di U****?”
“Iya,
Pak.”
“Jurusan
apa?”
“Teknik
kimia Pak.”
“Wah
pinter dong mbaknya. Nanti kalau sudah lulus kerjanya di apotek ya?” (Skenario
1)
“Nganu
Pak…itu jurusan farmasi Pak. Beda….”
“Bisa
bikin bom dong mbak?” (Skenario 2)
“Bisa
pak. Tapi lagi mager.”
“Wah
keren mbak. Saya waktu sekolah paling nggak paham sama pelajaran kimia. Nggak
jelas.” (Skenario 3)
“Saya
juga masih nggak paham sama kimia Pak. Apalagi memahami dia….”
Dan
banyak pertanyaan lain seputar stereotip jurusan yang kalah pamor dari
kedokteran umum ini.
Teknik kimia, belajar kimia mulu dong?
Ntar gajinya gede dong? Pasti mau kerja di Pertamina. Iya kan?
*ya siapa juga yang nggak mau huhu*
Teknik
Kimia = Belajar Kimia
Oke,
judul jurusannya emang teknik kimia, tapi kalau kuingat-ingat, pelajaran
kimianya hanya sedikit dan hanya di semester-semester awal saja. Kimia
analisis, kimia organik, kimia anorganik dan kimia fisika (inipun 70% nya
fisika lho). Udah. Sisanya? Matematika dan fisika. Jadi kalau ada yang tanya,
kamu kan anak tekim, berat molekul Strontium berapa ya? Kami mesti
buka google dulu,soalnya nggak hafal tabel periodik unsur. Kalaupun informasi
berat molekul suatu unsur diperlukaan di ujian, biasanya kami diperbolehkan
bawa tabel periodik unsur sendiri atau sudah disediakan di lembar soalnya. Atau
kalau nggak, setiap pulang pasti ditodong suruh ngerjain PR Kimia anak tetangga.
Terus
bedanya sama kimia murni apa?
Kalau
dari definisinya sih, ilmu kimia (chemistry) adalah ilmu yang menyelidiki sifat
dan struktur zat, serta interaksi antara materi-materi penyusun zat. Sedangkan
teknik kimia (chemical engineering) adalah ilmu yang mempelajari rekayasa untuk
menghasilakn sesuatu (produk) yang bisa digunakan untuk keperluan manusia
berlandaskan pengetahuan ilmu kimia (sumber : grid.id). Jadi intinya, teknik
kimia akan mengembangkan ilmu kimia ke aplikasinya di industri, yang membawa
manfaat ekonomi. Misalkan nih, suatu reaksi akan menghasilkan 70% A dan 30% B,
dimana produk yang diinginkan adalah B. Seorang kimiawan akan mempelajari
konsep reaksi, merekayasa reaksi agar terbentuk B yang lebih banyak, sampai ke
tingkat molekular yang rumit, sementara insinyur kimia akan mencari cara untuk
mengoptimalkan proses reaksi tersebut, mencari proses produksi B yang paling
efisien (paling murah), menentukan dan menghitung unit-unit operasinya,
bagaimana cara separasinya, pemanfaatan by productnya. Intinya insinyur kimia
berorientasi duit, sih.
Biasanya
sampai disini orang-orang manggut-manggut, dan mengalihkan pertanyaan. “Jadi
kapan nikah?” *tampar nih tampar*
Eh,
kamu tau dong berarti komposisi dari (…..) dan cara buatnya gimana?
Eh
ermm, nggak juga sih. Biasanya kami hanya hafal komposisi dan proses produksi
dari perancangan pabrik buat skripsi sendiri, ehe. Namun kalau secara umum ya
kami tau karena beberapa produk sering dipake dosen sebagai ilustrasi. Misal
benzena terbentuk dari reaksi antara toluen dan hidrogen atau vinil klorida
terbentuk dari klorinasi etilen. Atau margarin dari minyak nabati, sabun dari
basa dan minyak, alkohol dari proses fermentasi, dan lain-lain. Nggak detil-detil
amat, kalau mau detil ya saran saya tanya mbah google saja. Kami sudah terlalu
pusing dengan perancangan alat yang njelimet dan sulit dibayangkan.
Nih
ya, aku kan mau beli sabun, kira-kira yang bagus merek apa ya?
Yang
paling murah dan wangi aja, mbak.
Tapi
nasib kami lebih baik sih -senggaknya- dari anak teknik mesin atau elektro yang
kalau pulang pas liburan suka disuruh benerin motor dan alat listrik di rumah.
Padahal kami juga mempelajari tentang pompa dan alat penukar panas lo *kabur*.
Anak
tekim kuliahnya ngelab terus dong?
Kalau
pertanyaan ini saya setuju. Praktikumnya sebenarnya standar lah kalau
dibandingin sama anak teknik lain atau anak FMIPA. Mungkin ini agak
mengecewakan banyak orang, tapi nggak ada praktik bikin bom. Adanya praktikum
bikin alkohol. Seminggu sekali praktikum dan ada 5 mata praktikum, satu
praktikum setiap semester dari semester 1 sampai 5, dan satu praktikum
komputasi proses. Hanya 2 sks setiap praktikumnya, tapi kalau dijalani rasanya
kayak 100 sks. Bangun pagi kepikiran laporan praktikum, siang kepikiran sampel
praktikum dan ngapalin langkah kerja, malam kepikiran mas-mas asisten yang
ganteng. Mata kuliah lain selalu dikesampingkan kalau urusannya sama praktikum.
Dan praktikum kami selalu berkelompok, jadi punya teman sekelompok yang
seenaknya sendiri dan selalu melimpahkan tugas membuat laporan ke anggota yang
paling rajin (cewek, biasanya), sudah biasa. Saya pun pernah nangis pas
praktikum, melihat laporan nggak acc-acc sementara kawan sekelompok pergi naik
gunung.
Dan
urusan ngelab nggak cuma untuk praktikum. Jadi tugas akhir kami (mungkin
universitas lain juga sama), ada tiga, yaitu skripsi, penelitian dan praktek
kerja. Penelitian ini bau-bau kimianya terasa banget. Syukur-syukur biaya
penelitian diganti sama dosen dan bisa diikutkan ke seminar atau konferensi
ilmiah. Kadang tidak sesuai ekspektasi dosen dan harus diulang sampai sesuai.
Kadang waktu yang dibutuhkan untuk penelitian lebih lama dari waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi. Dan beberapa kali bosan ngelab karena rasanya hasil running tidak
berada di jalan yang benar, mengambang dan berputar-putar tanpa ada kemajuan.
Atau emosi jiwa ketika tiba-tiba harus menambah variabel dan atau hasil analisa
yang mahal tidak sesuai hipotesis awal. Penelitian ini menelan korban banyak,
seperti waktu main yang terbatas, harus bolos kuliah demi bisa running dari
pagi sampai lab tutup karena mengejar deadline sidang hasil, keluar biaya untuk
sampel dan analisa, dan merelakan sks yang sedianya untuk perbaikan matkul
Teknik Reaksi Kimia untuk ngambil sks
penelitian lagi karena dari semester kemaren belom kelar-kelar.
Ribet
ya. Kok kamu mau sih masuk tekim?
Yha
soalnya ga lulus ujian masuk kedokteran. *dikeplak @PEMBIMBINGUTAMA*
Nduk
skripsimu kapan selesai? Dari dulu kok bab 2 terus.
Skripsi
kami tentang prarancangan pabrik, jadi harus merancang mulai dari bahan baku,
komposisi produk, proses dan ekonomi pabrik. Hampir semua intisari mata kuliah
ada di dalamnya.
Ini
pertanyaan wajib ibu tanyakan ketika menelpon.
“Kok
bab 2 terus? Ndang to diselesaikan. Bab 2 kan gam….”
Gampang.
Dari. Mana.
Saya
berkali-kali harus menjelaskan bahwa bab 2 isinya bukan landasan teori, tetapi isinya neraca massa, neraca panas,
process flow diagram dan sub-bab lain. Dan bab 2 bukanlah bab yang gampang.
Karena perhitungan di bab 2 menjadi dasar untuk perhitungan di bab selanjutnya,
sampai akhir. Karena itulah bab 2 menjadi concern utama dan harus dikerjakan
dengan teliti dan hati-hati.
“Yaudah
kalau gitu. Ibu ga paham-paham amat sih. Skripsimu nggak sama sih kayak ibu
dulu. Kerjakan aja, ibu doakan lancar.
Oktober wisuda, lho.”
Yha.
Anak
tekim kutu buku semua ya? Kehidupan sosyelnya gimana tuch?
Alhamdulillah,
teknik kimia dianugerahi perbandingan hampir merata antara mahasiswa dan
mahasiswi. Bahkan di kampus saya, perbandingannya secara kasar 50-50. Ya
mungkin karena perbandingan mahasiswa-mahasiswi yang hampir merata itu membuat
kebanyakan mahasiswa tekim jadinya betah beraktivitas di kampus sendiri (ya
gimana nggak, tugasnya seabrek, belum lagi jadi budak proker himpunan yang tiap
minggu ada, jadi agak mikir-mikir juga kalau mau melanglang buana ke mana-mana.
Sampai kadang dianggap pasif sama jurusan-jurusan lain huhu). Jadinya banyak
juga yang terlibat cinta lokasi. Ya karena satu kelompok pas praktikum lah,
sekelompok tugas presentasi, satu departemen di himpunan, sering ketemu di
sekret himpunan, atau sering pandang-pandangan di kantin. Pokoknya kalau nggak
cinlok sama temen seangkatan sendiri, ya lintas angkatan dengan dede-dede
gemes, atau paling jauh dengan jurusan tetangga yang gedungnya sebelahan.
Mungkin karena sering papasan pas mau markir motor kali ya.
Ya
begitulah sekilas pandang mengenai kehidupan dan stereotip mahasiswa teknik
kimia. Lumayan pusing dan kalau istilahnya anak tekim semester 3 (yang lagi
pusing sama termodinamika), bikin kepala mengeluarkan uap superheated~